![]() |
Mendapat sebuah kepercayaan dari seorang yang baru saja kenal dan bisa dikatakan teman baru memang tidak gampang, tapi lain halnya dengan kejadian yang saya alami untuk beberapa minggu terakhir di bulan Mei. Seseorang teman dengan enaknya sendiri memberi kepercayaan kepada saya untuk sebuah pekerjaan. Bingung, kaget, terheran-heran, ternganga di badan yang setengah hidup-pada saat mata setengah menyala. Lho, kok bisa Saya? Berulang-ulang entah untuk berapa ratus kali pertanyaan itu saya ajukan kepada diri saya sendiri (?) Beberapa menit, setelah masa-masa ketidakpercayaan mendapat kepercayaan, sms masuk dengan pengirim yang sama- meyakinkan saya bahwa memang saya yang harus melakukan pekerjaan itu. Sebegitu penting ya?
Sebenarnya apa to pekerjaan itu? Begini bro, entah ini karena memang rejeki saya atau cobaan berupa rejeki (lho?) Saya diutus, mewakili sebuah sanggar bernama Sanggar Canau (Cakruk Sinau) bertempat di Yogyakarta untuk study banding ke Bandung. Untuk 20 tahun terakhir ini, saya memang mempunyai angan-angan ingin ke Bandung, tapi untuk sekedar melepas penat dan melihat “Kota Kembang” itu. Ya memang namanya cobaan berupa rejeki selalu datang mendadak tanpa kabar-kabar melalui fb, ataupun email. Ckckckck… Menurut sepengertian dan kemampuan pemahaman saya, acara ini adalah semacam study banding/ tinjauan dimana di Bandung tepatnya di Lembang, dan tepatnya lagi desa sekitar 4,5 hektar di bawah teropong Boscha, merupakan sebuah desa/wilayah/kampung/dusun/komunitas/semacamnya-yang di dalamnya sebagian besar penduduknya anak-anak kecil berusia balita sampai sekitar 15 tahun. Berpuluh-puluh sampai beratus-ratus anak kecil dibina, mulai dari anak-anak jalanan, anak-anak yatim piatu, anak-anak kurang mampu, dan sebagainya diasuh, dibina, dididik, diajar, digembleng (untuk bahasa kasarnya), disayangi, dicintai, diberi kesempatan untuk menggantungkan cita-citanya di dalam kepalanya di desa itu. Dipelopori oleh SOS - semacam organisasi sosial, berpusat di negara eropa-Austria.
Sedikit banyak mengenal SOS --
Pasca tsunami tahun 2004 di Aceh, SOS Childrens Villages Indonesia juga berdiri di Meulaboh, Banda Aceh dan Medan yang masing masing terdiri atas 15 rumah keluarga dengan fasilitas pendukungnya. Tujuan pendirian ini adalah untuk untuk menampung anak-anak yang kehilangan sanak keluarga akibat bencana tersebut.
Saat ini ada 1.100 anak yang tinggal dalam desa-desa anak Children’s Villages Indonesia yang tersebar di 8 kota. Sementara melalui program penguatan keluarga yang disebut Family Strengthening Program (FSP), ada lebih dari 6.500 anak yang didampingi. Family Strengthening Program adalah program penguatan keluarga yang bertujuan mencegah anak-anak kehilangan pengasuhan orang tua kandung mereka karena berbagai alasan, baik ekonomi, pendidikan dan sebagainya. Dengan program ini anak-anak yang didampingi SOS SOS Children’s Villages, tetap tinggal dalam keluarga biologisnya masing-masing.”
Berikut kata mereka, apa yang telah mereka dapatkan dari SOS Children Village:
- Setiap anak dibesarkan dalam keluarga (diberikan rumah yang layak, kakak, adik dan Ibu yang sangat melindungi).
- Setiap anak tumbuh dalam kasih sayang dan cinta.- Setiap anak tumbuh dalam rasa di hargai.
- Setiap anak tumbuh dalam rasa aman.
- Setiap rumah memiliki ibu dengan anak-anaknya maksimum 10 orang anak, dengan berdirinya 15 rumah di setiap Villages.
SOS membantu mereka membentuk masa depan hingga mandiri, diberi pendidikan formal dan non formal hingga mandiri sesuai budaya dan agama yang mereka anut, sewaktu SOS menemukan mereka anak-anak yang akan dibantu.
Banyak yang sudah menjadi seorang mandiri yang kemudian menjadi orang yang terbaik bagi nusa dan bangsa juga agamanya. SOS, menjamin memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk hidup sesuai menerima pendidikan dan latihan keterampilan yang mereka perlukan, banyak program-program yang sangat membuka diri anak itu untuk melihat berbagai keterampilan hingga juga mempunyai penghasilan yang membuat dirinya menjadi kekuatan individunya atas minat dan bakatnya.
Sekurang-kurang begitu dan selebih-lebihnya juga begitu biografi SOS Children Village.
***
Rabu, 18 Mei 2011
20:00 WIB- Berangkat menggunakan bis dari markas SOS di daerah Timoho, Yogyakarta-sekitar pukul 20:00 WIB. Perjalanan yang mengantukkan bagi saya. Tidak ada yang saya kenal, tidak ada teman untuk sekedar membuat bibir bergerak, hanya telinga dan mata saya yang bekerja pada malam pertama pemberangkatan. Sedikit-sedikit terdengar tawa kecil, nyanyian. Sedikit-sedikit terlihat beberapa orang peserta berjoget, membagikan jajan yang mereka punya, berbagi senyum. Dan beberapa orang tua tidak luput untuk sekedar membagikan “guyonannya”. Lalu, apa yang saya lakukan? Saya lebih memilih diam (mungkin bisa dikatakan diam dua ribu bahasa), membagi cerita dengan orang-orang jauh di kota-kota jauh melalui handphone-sms. Mata kantuk tapi tidak bisa padam, kedinginan gara-gara air conditioner yang menyorot muka saya bak lampu panggung saat pentas teater. Saya sadar bahwa posisi saya disini hanya sebagai wakil dari seseorang yang tidak bisa datang karena banyaknya rejeki yang harus diurus. Ya, betul- hanya wakil, perwakilan, mewakili.
Beberapa jam berlalu, bis mendarat (mogok) di depan Masjid Agung Kulonprogo dengan alasan rem terlepas, kata si sopir. Tak apa, batin saya- memanfaatkan waktu untuk menyendiri di belakang tubuh bis sambil sesekali menyembulkan asap putih ke atas, puas. Sekitar satu jam proses operasi pembenaran tubuh depan bis berlalu, akhirnya selesai dan bisa dikatakan beres. Mulai lagi membiasakan tertidur di dalam bis yang sudah berlari. Tetap tak bisa. Sungguh sial.
Kamis, 19 Mei 2011
01:00 dinihari- Kejadian berulang, bis mogok lagi di daerah Purworejo. Mau tidak mau turun dengan muka biasa dan sangat biasa saja. Hampir tiga jam menunggu, mondar-mandir tidak jelas. Untuk mengatasi kesepian, saya mencoba berkomunikasi dengan salah seorang peserta- sebut saja namanya Mas Salim. Seorang aktivis SOS dan merupakan salah seorang anggota SOS di daerah Yogyakarta. Obrolan cukup mengasyikkan hingga kurang lebih jam menunjukkan pukul 03.00 dinihari. Obrolan terpaksa disudahi karena bis memang sudah bisa dikatakan berjalan.
Sial menimpa. Bis kembali berhenti di daerah Kebumen paling barat, Gombong. Berhenti di sebuah rumah makan (lupa namanya). Sekitar 4-5 jam bis belum sembuh. Hingga akhirnya, sekitar pukul 06:00 WIB, kami resmi diberangkatkan kembali dari “Kota Ngapak”.
Pukul 08.30 WIB, kami diberhentikan di ujung timur provinsi Jawa Tengah jalur selatan untuk mengisi perut dengan soto khas daerah tersebut. Lalu kembali berangkat. Matahari menyengat melebihi sengatan lebah. Jalan-jalan yang dilalui rusak, tak teratur, tergenang air, dan terjal. Ketika melihat jendela, sungguh leluasa akan membayangkan bagaimana ketika terjatuh dari sebuah tebing. Menakjubkan!
Sampai suatu menit, bis berhenti kembali dengan alasan para penumpangnya disuruh berganti bis. Aladdin, nama bis baru yang kami tumpangi waktu berhenti di daerah Ciamis, Jawa Barat. Tak ber-air conditioner, dan sungguh panas, tapi ini memberi kesempatan untuk para perokok agar meluangkan sedikit mulutnya mengeluarkan asap. Alhamdulillah.
***
Kira-kira pukul 14:00 waktu itu, bis kembali berhenti terjebak macet di daerah Garut. Terjadi tabrakan beruntun yang membuat semua kendaraan yang melintas di area jalan itu harus berhenti, menunggu berjam-jam, termasuk penumpang bis yang kami tumpangi. Katanya, ada sekitar 5-6 kilometer kendaraan terjebak macet. Kagum.
Jarum jam menunjukkan pukul 17:30 WIB, baru menemukan udara segar. Bis kembali melaju. Mendekati isya’, bis mulai menampakkan diri di Kota Bandung. Dan inilah pertama kali saya melihat Bandung yang begitu ramai, kumuh, semrawut, tak teratur, bau. Ah, Bandung- memang tak seperti yang saya bayangkan selama ini. Kok bisa disebut Kota Kembang? Ha?
Jogja-Lembang 24 jam, kata para penumpang. Kami tiba di Lembang tepat pukul 20.30 WIB. Bisa disebut 24 jam lebih setengah jam dari keberangkatan kami. Aih, capek sekali. Sesampai di SOS Kinderdorf Lembang, Bandung, merebahkan tubuh di kasur polos. Kegiatan pertama yang dilakukan adalah makan malam. Kegiatan kedua yang dilakukan (untuk saya pribadi) adalah mandi. Dan kegiatan terakhir dari hari Kamis, 19 Mei 2011, adalah tidur.
Jumat, 20 Mei 2011.

Dijadwalkan untuk kegiatan hari Jumat, untuk para peserta dimulai jam 07:00 WIB. Berkunjung ke malam (Alm) Bapak Agus Prawoto, pendiri SOS Children Village/ SOS Desa Taruna adalah organisasi sosial pengasuhan anak berbasis keluarga di Bandung pada tahun 1972. Sebelum memasuki area makam, kami dipertemukan oleh Bapak Helmut Kutin, Presiden SOS Children’s Villages Internasional.
Singkat cerita tentang Bapak Helmut Kutin.
“Helmut Kutin adalah presiden SOS Children’s Villages Internasional kedua setelah Hermann Gmeiner yang merupakan pendiri lembaga yang kini berada di 133 negara ini. Ia menjadi presiden SOS Children’s Villages Internasional sejak 1985. Helmut Kutin memiliki catatan panjang dalam membantu anak-anak di berbagai negara, salah satunya mendirikan SOS Children’s Village di Vietnam untuk mengasuh anak-anak korban perang 1967. Pada 2009 ia meraih Save the World Award dan “Medal of Peace and Friendship Among Nations”, dari Vietnam Union Friendship Organisations.”
Sekedar bertukar sapa dengan beliau. Lalu, pukul 08:00, kami mulai bisa memasuki makam Bapak Agus Prawoto. Mengenang dan memberi hadiah berupak kiriman surat Al Fatihah kepada beliau, bagi yang beragama Muslim.
Setelah itu, pukul 09:00 WIB- peserta latihan pementasan untuk menyambut Presiden SOS, Helmut Kutin yang acaranya nanti akan diselenggarakan setelah sholat Jumat. Yang ingin disampaikan teman-teman SOS melalui pementasan ini adalah memperkenalkan SOS Yogyakarta, dari awal berdirinya hingga sekarang. Kurang lebih begitu, hingga latihan selesai dan diteruskan sholat Jumat.
***
Sholat Jumat di daerah Lembang untuk pertama kalinya. Khutbah berbahasa Sunda, mayoritas warganya NU tulen, masyarakat sungguh beradab, walaupun Bandung termasuk kota besar-namun masyarakatnya masih ada yang asyik, ramah, sopan, santun, dan saling berbagi.
Jumatan selesai. Acara selanjutnya adalah pementasan drama dari SOS Jogja. Sedikit mengalami kendala, karena pada waktu itu hujan maka dari itu acara diundur sekitar mendekati maghrib. Para peserta pulang ke kamp untuk melakukan kegiatan yang diinginkan mereka sendiri-sendiri. Sampai pada akhirnya pada pukul 17.00 WIB- para peserta mulai dikumpulkan, briefing sebentar, lalu menuju kantor SOS yang jaraknya 200m dari kamp tempat para peserta bermukim. Melewati lapangan bola dan lapangan bermain anak-anak, lalu melewati tanah tinggi yang terdapat Taman Kanak-kanak Desa Taruna, kemudian melewati beberapa rumah singgah untuk anak-anak binaan, dan baru nampak kantor SOS Kinderdorf Lembang, Bandung. Mulai memposisikan diri, mencari perannya sendiri-sendiri untuk menghasilkan pementasan yang baik. Disini ke-egois-an saya muncul, saya tidak ikut bergabung dengan teman-teman SOS lainnya di depan panggung. Lebih memilih duduk di bangku penonton bersama para ibu asuh dan anak asuh. Memilih bercakap-cakap dengan salah seorang ibu asuh, berasal dari Surabaya, dan sudah 9 tahun dirinya mengabdi kepada SOS Kinderdorf Lembang, Bandung. Percakapan berujung dengan mata berkaca-kaca karena tak leluasa menahan tangis mendengar para remaja/anak muda peduli dengan anak-anak terlantar dan serba kekurangan. Pembicaraan saya harus akhiri karena acara telah usai dan seutas kalimat keluar dari mulut ibu asuh itu, kurang lebih begini bunyinya,”Saya senangmelihat para anak remaja peduli pada anak-anak. Saya bangga kepada kalian.” Saya tersenyum dan berpamitan pulang kembali ke kamp.
Sambutan terhadap Helmut Kutin tadi bisa dibilang acara inti terakhir yang ada. Inisiatif para peserta tidak rampung begitu saja, mereka memanfaatkan waktu luang dari maghrib hingga pukul 22:00 WIB untuk melakukan petualangan di pusat perbelanjaan Kota Bandung. Sebenarnya dari lubuk hati saya yang paling dalam, saya tidak ingin ikut. Entah kenapa, yang pasti adalah masalah uang. Sangu sedikit, hanya bermodal 3 bungkus rokok kretek dan uang 5000 rupiah. Hasrat berbelanja pun punah seketika. Berpura-pura tidur di kamar, ketika ditanya jawaban saya adalah,”Maaf Bang, badan tak enak!” Tapi ternyata alasan begitu tidak cukup membuat teman-teman kapok untuk mengajak saya pergi, terutama Bang Tomy. “Ikut aja! Kamu temani aku saja disana. Oke!” Perasaan tak enak muncul dan akhirnya keputusan saya yang terakhir adalah ikut anak-anak hunting something.
Yang terasa saat peristiwa jalan-jalan ini adalah rasa lelah dan kelaparan. Lebih baik duduk diam sambil merokok. Ssssshhh. Aaaahhh.. Enak!
*selama perjalanan diatas, ada cerita menarik yang saya alami; ceritanya begini: ketika beranjak dari Ciwalk (pusat perbelanjaan), kami menuju semacam rumah binaan SOS di daerah yang saya lupa. Setelah lama berbincang-bincang dan bertukar keluh kesah, acara disudahi. Menunggu angkot yang lama. Karena dari awal bersama mereka saya lebih banyak diam, ternyata banyak dari mereka (anak-anak SOS) yang penasaran kepada saya. Mengapa saya diam? Begitulah kiranya. Hingga saya pun seperti artis, diomongin kesana-kesini, lalu diajak foto bareng, aih-apa hebatnya saya?
Sekitar pukul 22:00 kami kembali ke kamp untuk beristirahat karena pagi buta kami akan berangkat pulang dari stasiun. Selayaknya kebiasaan saya, tidak bisa tidur pada waktu yang masih sore sekali ini. Pukul 22:00 bagi saya belum bisa membuat kantuk. Memilih jagongan dengan Bang Tomy, Retno, dan 2 orang teman yang saya lupa namanya. Ngalor-ngidul, ngetan-ngulon, sesekali nggenah, sesekali ora nggenah. Begitulah malam terakhir di SOS Kinderdorf Lembang, Bandung.
***
Sabtu, 21 Mei 2011
Jarum jam menunjukkan pukul 04:00 WIB. Bersiap-siap pulang. Tanpa mandi ataupun gosok gigi, bahkan cuci muka. Angkot sudah di depan pintu. Perjalanan kali ini kita sudahi.

0 kritikan:
Posting Komentar
Tempat Menghujat