“Kita bangsa besar, kita bukan bangsa tempe. Kita tidak akan mengemis, kita tidak akan minta-minta apalagi jika bantuan-bantuan itu diembel-embeli dengan syarat ini syarat itu ! Lebih baik makan gaplek tetapi merdeka, dari pada makan bestik tetapi budak”
Presiden Soekarno, HUT Proklamasi RI, 1963
Tentu kiasan bangsa tempe yang dimaksud mendiang Soekarno dalam pidato pembakar semangat itu kita artikan sebagai sifat lembek dan murahan. Proklamator kita ini memang terkenal berani dalam memilih kata, intonasi dan bahasa tubuh dalam pidatonya bahkan terkadang terasa kasar dan vulgar. Namun saat itu rakyat Indonesia tak pernah melakukan pembodohan dan picik dengan meneropong kata-kata kasar itu kemudian mengkritisi dan menggunakannya sebagai peluru politik murahan. Kalimat, paragraf sampai naskah dari pidato sang Orator Kampiun itu dipahami secara utuh. Sebuah sikap dewasa dalam merealisasikan tut wuri handayani pada pemimpinnya. Artikel populer ini memetik kata tempe dan mengaitkannya dengan salah satu mimpi besar Soekarno-Hatta yaitu merdeka khususnya dari perspektif merdeka pangan. Tempe itu bahan baku utamanya adalah kacang kedelai atau sering disingkat kedelai tanpa kacang sebagai kata depan karena sudah sangat lazim dan kedelai itu esa maknanya. Atas bantuan spora yang tumbuh di kedelai yang sudah dicuci dan rebus itu jadilah bahan tempe yang siap digoreng, direbus atau dimasak sebagai sayur atau sambal goreng sesuai rasa lidah Nusantara.
1 kritikan:
Gw setuju am apa yang dikatakan mendiang Bung Karno tapi aqu juga suka tempe.....hohoho...
Enx'a secangkir kopi hangat disertai dengan secupid putung rokok dalam genggaman dan tempe kripik yang hangat < mendoan >. hihihi
Posting Komentar
Tempat Menghujat