21.34.00
Home » , , , » Buton, Ibu, dan Sekantung Luka-Irianto Ibrahim; LKiS 2010 Home » , , , » Buton, Ibu, dan Sekantung Luka-Irianto Ibrahim; LKiS 2010

Buton, Ibu, dan Sekantung Luka-Irianto Ibrahim; LKiS 2010

Selamat malam Indonesian Blogger’s!
Malam minggu yang sangat bermanfaat.
(walau saat memosting sudah hari Senin)

***

Oke, Blogger’s kali ini postingan kita akan sedikit lebih serius (bukan nama band e Candil).
Daripada bertele-tele, nanti malah dianggap talk less do more.
Maka lebih baik, langsung aku tunjukkan saja kepada kalian postingan kali ini.
MONGGO DEENN!!! milkysmile

***

Sudah saatnya memanfaatkan malam minggu untuk dijadikan sebagai malam yang berguna. Tidak dipakai untuk hal-hal yang berbau hedonisme (iki istilah yoo den) --> paham yg
beranggapan bahwa kesenangan adalah yg paling benar di dunia ini ; Nah, biasanya pelaku/penganut paham itu adalah anak-anak muda jaman sekarang atau yang biasa mereka sebut ANAK GAUL (preeekkk, cook!). Menghabiskan weekend dengan hura-hura dengan istri-istri tidak sah mereka (alhamdulillah, aku untunge ra due istri yang tidak sah), guna memperoleh kesenangan sesaat (sesaat di dunia). Ah, sudahlah. Toh, cara berpikir manusia berbeda-beda dan pola kehidupan setiap manusia juga bermacam-macam. SUNGGUH INDAH MEMANG PERBEDAAN ITU! (i just feel it).

Untuk malam minggu ini, aku diberi kesempatan oleh Sang Hyang Anantaboga untuk menyaksikan sebuah perhelatan berupa diskusi sekaligus peluncuran sebuah buku. Bertempat di Pendopo Yayasan LkiS, Sorowajan, Bantul, Ngayogyakarta Hadiningrat.

Mungkin Anda perlu membaca artikel dibawah ini :


PELUNCURAN DAN DISKUSI BUKU PUISI
“BUTON, IBU DAN SEKANTONG LUKA”




Komunitas Rumahlebah Yogyakarta akan mengadakan peluncuran dan diskusi buku puisi Buton, Ibu dan Sekantong Luka (Framepublishing, 2010) karya Irianto Ibrahim, penyair asal Buton, Sulawesi Tenggara. Acara dilangsungkan di Yogyakarta, Tasikmalaya dan Jakarta.

Di Yogyakarta, acara diadakan di Pendopo LKiS Sorowajan, Sabtu (17 Juli) pkl. 19.00 WIB, pembicara Y. Thendra BP, Saut Situmorang, moderator Raudal Tanjung Banua.

 Di Tasikmalaya, Universitas Siliwangi, Selasa (20 Juli) pkl. 15.00 WIB, pembicara Acep Zamzam Noor, Nasaruddin Azhar, moderator Bode Riswandi.

Di Jakarta, di forum mejabudaya, PD HB Jassin TIM, Jumat (23 Juli) pkl. 15.00 WIB, pembicara Zen Hae, Raudal Tanjung Banua, moderator Martin Aleida.

Acara yang terbuka untuk umum ini juga akan diisi pembacaan puisi oleh sejumlah penyair di ketiga kota tersebut.

Irianto Ibrahim lahir di Gu-Buton, 21 Oktober 1978. Staf pengajar Fakultas Sastra Universitas Haluoleo ini juga mengasuh Komunitas Arus di Kendari tempat berhimpun seniman berbagai latar. Ia sendiri akan hadir di setiap kota membincang proses kreatifnya, terutama berkaitan dengan upayanya menghadirkan Buton dalam puisi-puisi yang ia tulis. Buton, sebuah pulau besar di Sulawesi Tenggara sejak berabad lampau menjadi pusat kesultanan penting di Nusantara. Belanda berusaha menguasainya tapi tidak sepenuhnya berhasil berkat kecerdikan sultan yang memerintah. Buton pun berhubungan dengan tokoh oposan “sejarah resmi”, Arung Palakka dari Bugis, yang saat itu berhadapan dengan Sultan Hasanuddin dari Makassar.

“Di antara potensi yang luar biasa, Buton menanggung sejumlah ironi,” kata Irianto Ibrahim. Ia menyebut, sebagai daerah penghasil aspal di tanah air sejak tahun 1926, justru jalan raya di Buton dan Sultra banyak yang tidak tersentuh aspal. Tak kalah menyedihkan adalah tragedi tahun 1969, empat tahun setelah tragedi nasional 1965. Militer yang berkedudukan di Makassar menuduh daerah ini sebagai basis komunis. Ratusan pejabat dan masyarakat ditangkap tanpa pengadilan. Sampai saat ini tuduhan itu tak pernah terbukti. Sejarah, silsilah dan prahara dengan segala ironi yang melanda tanah kelahirannya itulah yang diramu Irianto Ibrahim dalam buku puisi perdananya ini.

***

Sudah membaca tulisan diatas ini????
Woke lah kalo sudah membaca, berarti Anda adalah pembaca yang teliti! Hehehe.. (just kid)

Karena memang Saya tinggal di Yogyakarta, tepatnya lagi di Yayasan LkiS, maka dari itu Saya ikut membantu proses penyelenggaraan acara ini agar dapat berjalan semulus benang sutra (walau cuma bantu nyapu TKP, memasang tikar di TKP, menyiapkan sound system, dsb). Beberapa menit berlalu, sejenak menunggu orang-orang -->peminat diskusi, untuk datang. Akhirnya setelah pukul 20.00 WIB, acara dimulai.

Obrolan pertama dibuka oleh sang MC yaitu abang Raudal. Menyampaikan sedikit gambaran tentang diskusi yang akan dilakukan pada malam minggu ini. Lalu pembicara selanjutnya adalah si abang Thendra yang kurang lebih bicaranya seperti ini :

Membaca puisi yang bercerita berdasarkan sebuah peristiwa/kejadian yang dialami secara komunal dan kemudian mengetahui sesuatu yang “intim” bagi personal (penyair), dibutuhkan perangkat atau pengetahuan lain dari luar teks. Misalnya, ketika Saya membaca puisi Normandia karya Gunter Grass, Saya tidak akan mendapatkan apa-apa jika tidak menggali lebih di balik teks puisi itu. Sebab puisi tersebut—sekilas dalam bentuk narasi yang pendek—bercerita tentang sebuah benteng di pantai (Normandia), turis, jenderal, dan “angin singgah baut lima menit yang duka”. Maka, agar bisa menikmati dan mendapatkan isi dari puisi Grass itu, Saya harus mencari referensi yang berhubungan dengan Normandia itu.

Merujuk dari teks dan simbol yang dipergunakan puisi Grass itu, Saya dibawa untuk menyusuri masa lalu Normandia, dan mempertemukan Saya dengan Normandia pada 6 Juni 1944. Dimana terjadi invasi dari laut yang terbesar dalam sejarah, hampir tiga juta tentara sekutu (AS, Inggris, Perancis, Kanada, Polandia, Belgia, Ceko, Yunani, Belanda, dan Norwegia) menyeberangi Selat Inggris dari Inggris ke Perancis yang diduduki oleh tentara Nazi, Jerman.

Invasi dengan kode Operasi Overvold atau yang lebih dikenal dengan istilah D-Day itu, mengajak pembaca untuk meretrospeksi salah satu peristiwa yang mengerikan dalam sejarah manusia. Hanya ada dua pilihan saat itu: membunuh atau dibunuh. Dan, maut bernyanyi sepanjang pantai.

Puisi Normandia itu menempatkan pembaca sebagai sesuatu yang aktif. Dengan kata lain, pembaca tidak dijejali dengan pengertian lewat kata atau sensasi kata (penerima pesan), tapi sebagai pencari pesan.

Dalam puisi yang bercerita atau puisi konvensional berdasarkan yang kejadian itu, baik yang sudah maupun yang sedang berlangsung, perangkata puisi seperti diksi, metafor, simbol dan sebagainya dipergunakan dengan penuh pertimbangan dengan penuh perhitungan untuk membangun sebuah narasi agar tidak berkesudahan sebagai reportase jurnalistik atau catatan sejarah versi ilmiah.

Ketika Saya membaca puisi-puisi Irianto Ibrahim yang terhimpun dalam buku puisi “Buton, Ibu, dan Sekantung Luka (framepublishing, 2010),” Saya menemukan puisi Irianto Ibrahim bercerita berdasarkan kejadian komunal yang sudah berlangsung, seperti pada puisi Buton 1969; Sekantung Luka dari Seorang Ibu; Tiga Alasan Pendulang Meninggalkan Bombana.

Pada puisi Buton 1969, narasi dibangun untuk menggambarkan sebuah peristiwa yang berlangsung, dengan permainan simbol-simbol. Penyair memposisikan diri sebagai penyampai “kabar” masa lalu yang kelam, tentang peristiwa Buton pada tahun 1969 dimana berhembus isu sebagai Buton akan dijadikan basis komunis. Kemudian terjadi “pembersihan” oleh militer atas dasar Keppres pada waktu itu.

Namun permainan simbol yang agag ‘longgar’ bila berhadapan dengan pembaca yang pasif (malas), bisa jadi puisi Buton 1969 itu samar ditangkap. Pertanyaan Saya, bagaimana jika judul puisi Buton 1969 itu diganti dengan Pidie 1989, misalnya, apakah puisi tersebut masih bisa menceritakan peristiwa kelam di Buton pada tahun 1969 itu? Sebab dua larik berikut ini: seperti ketika kau melewati tanah perbatasan/tanah yang dijaga ketat para tentara yang selalu marah/bisa dipergunakan sebagai simbol untuk daerah yang pernah mengalami DOM (Daerah Operasi Militer), seperti Aceh dan Papua.

Berbeda dengan puisi Sekantung Luka dari Seorang Ibu. Irianto membahasakan ulang dalam bentuk puisi narasi yang liris, pengakuan Ainun Kasim istri Bupati Buton (1969) Muh. Kasim yang dituduh PKI, disiksa hingga mati, namun hingga sekarang namanya belum direhabilitasi. Dalam puisi ini, “perangkat puisi” dipergunakan Irianto untuk membangun keutuhan sebuah puisi yang bercerita. Ada narasi-liris yang menarik dan membuat pembaca (aktif) untuk menggali puisi itu lebih jauh lagi, seperti: sebab baginya kaki-kaki kursi yang diinjakkan pada kuku-kuku kaku suaminyatak pernah benar-benar mengenal rasa sakit:oleh luka maupun oleh kepergian yang dipaksakan. Menariknya ialah narasi liris tersebut membaut ruang pertanyaan bagi Saya-mungkin pembaca yang lain juga-siapa suami perempuan itu? Kenapa kuku-kuku kakinya diinjak-injakkan kaki-kaki kursi tapi ia tak merasa sakit? Dan narasi-liris selanjutnya, puisi itu tidak menjelaskan, ia (aktif) untuk mencari “ruang yang tidak dijelaskan” itu. Irianto memainkan ‘kapan sesuatu harus ‘dikeluarkan dan ‘kapan sesuatu musti disimpan’. Bagi Saya, puisi Sekantung Luka dari Seorang Ibu berhasil tidak menjadi semacan reportase jurnalistik atau catatan sejarah versi ilmiah tanpa kehilangan momentum puitiknya.

Bagi Saya, puisi bercerita inilah kekuatan Irianto. Seperti bisa dibaca pada puisi Tiga Alasan Pendulang Meninggalkan Bombana, puisi bermain-main yang satir. Puisi Malam Pengantin yang bercerita tentang maut. Dan ‘kehilangan’ pada puisi Bali.

Puisi bercerita ini, ranah yang jarang disentuh dengan bersungguh-sungguh oleh kebanyakan penyair sebaya Saya. Banyak penyair sebaya Saya masih berkutat menggawat-gawatkan bahasa dan tema. Narasi menjadi kabur, kata-kata saling berebut cari perhatian. Kalau perlu kata-kata arkais dan metafor yang bersensasi dibuncah-buncahkan. Sering membuat Saya bertanya-tanya:”Doi ngomong apa sih?”

***

Kurang lebih begitu penyampaian abang Thendra. Yang intinya, puisi yang dibuat oleh Irianto Ibrahim ini adalah semacam puisi yang bercerita (narasi), yang juga jarang sekali dibuat oleh para penyair-penyair masa kini-lebih bermain-main dengan bahasa dan tema sehingga antar katanya saling berebut mencari perhatian. Dan kali ini, Irianto Ibrahim berhasil mendobrak/menjauh dari normalitas untuk menjadi yang berbeda.

***

Pembicara selanjutnya adalah abang Saut Situmorang (kritikus sastra) yang dikenal dengan bukunya Politik Sastra. Beliau (si rambut gimbal) menceritakan perkembangan puisi-puisi yang ada di Indonesia, Beliau sependapat dengan abang Thendra bahwa puisi (narasi) yang berhasil dibuat Irianto Ibrahim ini menggebrak dunia sastra-khususnya puisi-agar para penyair-penyair muda kita tidak mementingkan bahasa dan tema ketika mencipta puisi, sedang isinya diabaikan. Yang paling penting adalah isinya.

***

Oke Blogger’s Indonesian.
Mungkin semacam itu malam minggu yang Saya lalui.
Cukup sekali untuk sekedar dongeng sebelum tidur (bagi Anda yang pasif) dan sebuah pelajaran hidup (bagi Anda yang aktif).

***

Sampai disini dulu, postingan kali ini.
Semoga bermanfaat.

SALAM KARYA DAN HIDUPLAH!
milkysmile

1 kritikan:

rahita mengatakan...

wah.. enak bgt tuh malem mingguannya..

tapi ngomong2 tidak semua anak muda jaman sekarang berbau hedonisme (contohnya aku, kekekeke)

benar2 menjadi pelajaran hidup

Posting Komentar

Tempat Menghujat

readbud - get paid to read and rate articles
kotak sampah™. Diberdayakan oleh Blogger.